Mahesa Lawung di Alas Krendhowahono
Dalam
Kisah pewayangan, setiap kali para Ksatria hendak menunaikan tugas mulia atau
sedang mencari jawaban atas permasalahan hidupnya, ketika mereka melintasi
hutan belantara pasti akan mendapat hadangan dari hewan buas jadi-jadian dan
para Buto atau raksasa penunggu hutan tersebut. Hutan belantara adalah simbol
dari gelap dan ruwetnya alam pikiran manusia, dimana sering timbul godaan hawa
nafsu yang disimbolkan hewan buas serta raksasa, yang akan menggagalkan niat-niat
baik dalam diri manusia. Pemaknaan inilah yang menjiwai dari Upacara Mahesa
Lawung yang digelar secara rutin oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Upacara
Mahesa Lawung diadakan 40 hari setelah Grebeg Maulud di sebuah hutan yang
bernama Alas Krendhowahono. Hutan sebelah utara Kota Solo yang terletak di
Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ini dikenal oleh
masyarakat sebagai tempat angker dengan mitos Bethari Durga sebagai
penunggunya. Hutan Krendhowahono mempunyai sebuah petilasan yang penting yaitu
Watu Gilang dimana Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegara sering bertemu
ditempat itu untuk membicarakan strategi dalam menghadapi peperangan dengan
pihak Belanda. Konon, menurut penuturan warga di sekitar hutan, Ir Soekarno
presiden pertama Republik Indonesia sering menyepi dan bersemedi di hutan
tersebut.
Upacara
Mahesa Lawung merupakan upacara yang sudah turun-temurun yang muncul di
lembaran sejarah tanah Jawa pada zaman Dinasti Syailendra-Sanjaya yang tampak
dalam arca Durgamahesasuramandini. Dengan bergantinya era kerajaan Hindu-Budha
menjadi Kerajaan Islam, maka Upacara Mahesa Lawung juga dikemas dengan doa-doa
bernafaskan Islam. Upacara Mahesa Lawung diawali dengan menata semua sesaji dan
perlengkapan upacara di Bangsal Sitihinggil Kraton Kasunanan Surakarta, lalu
semua peserta upacara melakukan doa bersama di sana. Setelah itu rombongan
menuju ke Hutan Krendhawahono untuk melanjutkan ritual yang menjadi puncak
Upacara Mahesa Lawung. Sesampai di tengah hutan, sesaji diletakkan di puncak
sebuah punden yang berada di bawah pohon beringin besar. Sesaji yang paling
utama adalah potongan kepala kerbau yang dibungkus dalam kain kafan. Selain itu
terdapat berbagai macam sesaji seperti aneka bunga, ayam ingkung, kelapa muda,
serta aneka serangga, binatang melata dan binatang berbisa, yang sering disebut
dengan "Sesaji Kutu-kutu Walang Atogo".
Asap kemenyan mulai menyebarkan
wanginya keseluruh pelosok hutan dan doa-doa kembali dilantunkan. Pemimpin
upacara mulai mendaraskan doa dan disambut peserta upacara dengan mengucapkan
kata "rahayu". Satu persatu kerabat Kraton Kasunanan Surakarta naik
ke atas punden untuk meyampaikan doa pribadi masing-masing. Beberapa Sentono
dan Abdi dalem juga bergiliran untuk berdoa di atas punden. Setelah selesai upacara,
kepala kerbau tersebut dikuburkan ditempat tersebut dan sesaji yang lain
dibagi-bagikan kepada para peserta upacara.
Doa dalam Upacara Mahesa Lawung adalah
doa-doa untuk memohon keselamatan kepada Tuhan agar dijauhkan dari mara bahaya
dan bencana. Permohonan ini tidaklah sebatas kata, tapi dimaknai dengan
keberanian untuk bersesaji atau berkorban. Upacara Mahesa Lawung adalah sebuah
gambaran dari tekad untuk membunuh sifat-sifat "kerbau" dalam hati
manusia dan menguburkannya dalam-dalam. Kerbau merupakan penggambaran dari
sifat-sifat buruk manusia seperti kebodohan, kemalasan dan sikap acuh tak acuh
terhadap sekitar. Dengan keberanian untuk mengorbankan sifat-sifat buruk
tersebut, diharapkan muncullah hubungan baik dari segala unsur semesta ini, baik
hubungan antara manusia dengan sesamanya, dengan alamnya, maupun dengan Tuhan
Sang Penguasa alam ini, demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sejahtera
dan dijauhkan dari bencana. Salam Kratonpedia.